In this fast moving world we live in, so many blessings floating freely. Through this book, I learnt and realized so many things need to be appreciated and those are the things that we should be grateful of. With the cute illustrations, I truly fall in love with these cute creatures. I love how the chapter always ends up with a question; such as
Menurut kamu apa itu arti dari kebahagiaan dan bagaimana kamu memaknainya? Lalu, bagaimana cara yang kamu lakukan untuk meraih kebahagiaan itu? Sampai saat ini aku pun selalu mencoba untuk menemukan dan memaknai kebahagiaan yang aku rasakan lewat hal-hal kecil sekalipun. Aku juga merasa kalau kebahagiaan itu sifatnya semu dan enggak ada takaran yang mengatur atau membatasinya. Bagaimana pun itu, aku, kamu, dan setiap orang berhak untuk bahagia. Betul, kan?
Kerap kali aku pengin membagikan kebahagiaanku lewat media sosial, menuangkannya dalam bentuk kata, dan dengan menunjukkan potretku tersenyum atau hal-hal yang membuatku bahagia. Aku rasa semua orang setidaknya menginginkan dan melakukan hal tersebut. Ya, hal serupa juga dilakukan oleh karakter dalam Happiness Battle. Perang kebahagiaan? Hm, menarik.
Kehidupan kelas atas disorot dalam buku ini. Bagaimana mereka berusaha menjaga reputasi lewat unggahan di media sosial dan menanggapi kebahagiaan orang lain lewat komentar, tapi tak jarang tanggapan itu berubah jadi ajang perlombaan dan percelaan. Oh Yoojin, bisa kubilang, menjadi salah satu peserta dalam perang kebahagiaan itu. Alih-alih menjadi pemenang, Oh Yoojin ditemukan tewas di apartemennya dengan tergantung di balkon dan suaminya ditemukan terkapar bersimbah darah di kamar. Miho yang terkejut dengan berita tersebut kemudian berusaha menelusuri penyebab kasus tragis itu. Selama masa penelusurannya, Miho justru menguak rahasia kelam dan ironi yang terjadi di masa lampau.
Membaca buku ini bagaikan mengupas bawang, lapisannya yang banyak, dan membuat pedih. Isu-isu pelecehan seksual, bullying, bunuh diri, mental illness, serta toxic parents kerap disorot dalam buku ini. Bagaimana korban tidak mendapat perlindungan dan pembelaan menjadi hal yang sangat miris. Bagaimana orang tua bersikeras dan berambisi menjadi yang terbaik dan mengambil alih kehidupan anak-anak seakan-akan mereka adalah boneka. Namun, para orang tua tidak menyadari kalau anak-anaknya menjadi korban dalam keegoisan yang dilakukan.
Banyak sekali hal yang sifatnya triggering dan menjadi bagian yang perlu diingat para penerbit untuk mencantumkan TW-nya. Kalimat yang disusun dalam buku ini sangat mudah dipahami dan cerita yang seru membuat buku ini terasa page turner. Twist yang disajikan juga cukup membuatku terkejut, tapi terasa abu-abu. Banyak sekali yang bisa dipetik dari buku ini seperti gunakanlah media sosial sebijak mungkin dan tidak perlu berpura-pura menunjukkan kebahagiaan.
Cover buku ini sangat menipu. Cupcake pada cover memberikan kesan manis, tapi kenyataannya cerita dalam buku ini jauh dari kata manis. Lebih ke tragis dan ironis, menurutku.
Kisah dalam buku ini banyak mengangkat isu-isu seperti violence, sexual harassment, child abuse, bullying, dan blood. Perlu menjadi hal yang patut dicermati bagi penerbit untuk meletakkan trigger warning pada halaman pembuka atau cover belakang buku. Penjabarannya juga disampaikan secara detail sehingga saat membaca, aku sesekali mengatur napasku. Apalagi sudut pandang pada buku ini menggunakan orang pertama.
Aku dituduh melakukan tindak pelecehan seksual oleh adik tirinya. Ibu tirinya yang tidak terima, menyiksa aku, sementara ayahnya yang merupakan ayah kandung tidak berkutik sama sekali. Sepeninggal ibu kandungnya, hidup aku jauh dari kata manis. Ia juga menjadi korban perundungan. Karena siksaan akibat tuduhan itu, aku kabur dari rumah dan bersembunyi dalam toko roti yang Ia temukan. Namun, toko roti itu menyajikan menu yang tidak biasa dengan resep racikan penyihir dan burung biru.
Bagiku buku ini sangat unik karena cerita yang disajikan berbeda dari yang biasa aku baca. Roti-roti yang memiliki kekuatan magis menjadi daya tarik dalam kisah ini dan membuatku ikut memilih - pilihanku jatuh pada Doppelganger Finance. Aku juga menikmati bagaimana konsep apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai, para pembeli juga bertanggung jawab atas roti yang mereka pilih. Seakan-akan hal tersebut menyadarkan kita kalau apa yang telah menjadi pilihan juga menjadi tanggung jawab kita. Pada bagian akhir pembaca akan diberikan dua alternative ending, ya atau tidak, membuatku sadar akan probabilitas yang terjadi dalam hidup dari apa yang sudah kita tentukan.
Sayangnya, ada beberapa hal yang terasa kurang untukku dan membuat penasaran. Latar belakang burung biru dan bagaimana toko roti dibangun. Kesalahan dalam penulisan (typo) juga beberapa kali aku temukan. Still, aku menikmati buku ini karena cukup page turner dan ingin lebih tau bagaimana efek yang diberikan dari roti ajaib.
Kisah kawin kontrak yang diangkat dalam buku ini cukup menghibur. Rasanya ringan dan erat dengan unsur keluarga di dalamnya. Sejujurnya, interaksi antara Geonhyeong dan Jungwon suka bikin gregetan karena keduanya punya ego yang tinggi. Malah aku lebih suka bagian Jaehyun dan Jungwon, lebih dapet aja, agaknya karena mereka punya interest yang sama.
Sayangnya, sampai sekarang aku masih menebak dan menyimpulkan. 4 Ways to Get a Wife, empat cara untuk dapatin istrinya itu gimana? Menyebar pengumuman? Wawancara? Pendekatan? Terus... Semoga para pembaca bisa menebaknya.
Suatu malam, para penghuni rumah miring dengan struktur yang unik itu dibuat geger dengan terbunuhnya salah satu tamu di kamarnya. Beberapa hari kemudian, kasus serupa terjadi kembali dan membuat suasana rumah kian mencekam.
Menurutku pendekatan dalam pembuka cerita pada buku ini cukup unik karena menyebutkan beragam bangunan di berbagai belahan dunia. Rasanya seperti mendapatkan trivia baru. Belum lagi dengan pencantuman karakter di halaman awal sangat membantu pembaca. Well, walaupun cukup banyak ya. Jadi saranku perlu catatan khusus untuk itu supaya gak bolak-balik dan untuk menulis clue pada kasusnya. OH YA penggambaran denah-denah rumahnya juga sangat membantu untuk memahami struktur dari rumah miring ini.
Aku cukup menikmati cerita pada buku ini meskipun di bagian-bagian bab awal sempat ngerasa bosen dan suntuk, terkesan lamaaa banget. Namun, setelah Detektif Mitarai datang yang mana di sekitar halaman ke-200-an akhir (seingatku), tensionnya mulai terasa. Terus juga biasanya kalau ada kasus pembunuhan yang dicurigai adalah sosok manusia, tapi di sini adalah boneka. Gak biasa aja untukku.
Tentang bagaimana closing dari kasus ini saat pelaku, motif, dan caranya dikuak rasanya memuaskan. Ternyata bikin perasaan campur aduk dan lumayan tragis. Meskipun untuk sampai di bagian tersebut pembaca perlu menebak-nebak dan melewati halaman yang cukup banyak. Selamat menebak!
TMI not related to the review: Akhirnya aku berhasil dapatin slot peminjaman di iPusnas dan menamatkan buku ini!!! terus waktu penggunaan sudut pandang orang pertama digunakan, jujur aku bingung pov siapa yang digunakan, tapi kayaknya salah satu pihak penyelidik??? argh kayaknya kelewat :< jadi makin penasaran sama TZM buat ketemu sama Detektif Mitarai deh aku.
Bagiku membaca buku ini rasanya seperti minum teh hangat sambil memandang halaman rumah yang basah terkena air hujan dari jendela.
Aku kagum bagaimana Kak Nica merangkai kata sederhana yang indah terinspirasi dari hal-hal di sekitar. Aku merasa sangat terhibur dengan ilustrasinya yang gemas nan cantik. Bagian "Ini Aku dan Memahami Caranya" menjadi favoriteku, tumbuh dewasa itu susah sekali dan banyak hal yang tidak pernah diajarkan pada kita.
Thank you for always doing your best, Kak Nica. May you find eternal peace and serenity in the arms of the angels.
Kehilangan menjadi satu hal yang paling aku takuti. Jika aku menjadi salah satu karakter dalam buku ini atau paling tidak berada di universe-nya, aku rasa gak akan sanggup. Barang, orang, suara, dan diri - perlahan menghilang dan entah apa yang akan terjadi.
Bagiku bacaan ini terasa suram, kelam, dan gelisah. Aku juga dibuat penasaran dengan asal muasal Polisi Kenangan. Tindakan bengis mereka juga membuatku muak. Satu hal yang aku sadari saat membaca ini adalah bagaimana "distopia" menjadi genre yang aku hindari.
Aku menemukan kalau cara penyampaian dialog dalam buku ini unik. Mirip dengan script drama sehingga dialognya mudah untuk dibaca dan dipahami.
Penulisan untuk terjemahan buku ini juga mudah dipahami. Jadi gak ngerasa kesulitan dan makin gak bisa berhenti untuk baca sampai akhir. Pace cerita yang disajikan juga cepat, aku rasa emang dilarang buat berhenti baca di tengah jalan. Ya, emang. Gak boleh baca di tengah jalan karena nanti ketabrak. Jokes jelek, maaf.
Aku juga suka bagaimana denah selalu digambarkan sehingga memudahkan aku sebagai pembaca untuk membayangkannya. Tanpa perlu menggambar sendiri. Lalu, kejutan yang diberikan rasanya berlapis-lapis dan membuatku speechless. Sempat parno juga pas baca bagian bayangan anak kecil, mana waktu itu lagi sendirian. Argh.
Kupikir aku harus menuliskannya supaya aku tidak akan mengulangi kesalahan mengerikan yang sama.
Wah... Aku sampai gak mampu menulis review saking heran dan amazed sama penyampaian di buku ini. Rasanya seperti aku berada di dekat Kim Byeongsu, pensiunan pembunuh berantai yang mengidap demensia. Ia lalu hidup bersama anaknya yang bernama Eunhee dan berusaha melindungi putrinya itu.
Byeongsu menulis beragam kejadian juga ingatan yang terlintas dalam benaknya. Aku berulang kali dibikin gak habis pikir sama apa yang ada dalam diarinya itu. Memang gak ditulis secara eksplisit dan detail, how he did all the crimes, tapi aku rasa ada beberapa bagian yang bikin menahan napas.
Aku menikmati bagaimana Byeongsu mempelajari puisi dan sampai saat ini salah satu puisinya tentang istri yang menjadi abu, aku ingat dengan betul. Aku juga mendapatkan istilah baru yakni tentang sindrom capgras. Well, I enjoy the ride and tension as the twists left me speechless!