Scan barcode
A review by headliner
Happiness Battle by Young-ha Joo
dark
emotional
sad
medium-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
4.5
Menurut kamu apa itu arti dari kebahagiaan dan bagaimana kamu memaknainya? Lalu, bagaimana cara yang kamu lakukan untuk meraih kebahagiaan itu? Sampai saat ini aku pun selalu mencoba untuk menemukan dan memaknai kebahagiaan yang aku rasakan lewat hal-hal kecil sekalipun. Aku juga merasa kalau kebahagiaan itu sifatnya semu dan enggak ada takaran yang mengatur atau membatasinya. Bagaimana pun itu, aku, kamu, dan setiap orang berhak untuk bahagia. Betul, kan?
Kerap kali aku pengin membagikan kebahagiaanku lewat media sosial, menuangkannya dalam bentuk kata, dan dengan menunjukkan potretku tersenyum atau hal-hal yang membuatku bahagia. Aku rasa semua orang setidaknya menginginkan dan melakukan hal tersebut. Ya, hal serupa juga dilakukan oleh karakter dalam Happiness Battle. Perang kebahagiaan? Hm, menarik.
Kehidupan kelas atas disorot dalam buku ini. Bagaimana mereka berusaha menjaga reputasi lewat unggahan di media sosial dan menanggapi kebahagiaan orang lain lewat komentar, tapi tak jarang tanggapan itu berubah jadi ajang perlombaan dan percelaan. Oh Yoojin, bisa kubilang, menjadi salah satu peserta dalam perang kebahagiaan itu. Alih-alih menjadi pemenang, Oh Yoojin ditemukan tewas di apartemennya dengan tergantung di balkon dan suaminya ditemukan terkapar bersimbah darah di kamar. Miho yang terkejut dengan berita tersebut kemudian berusaha menelusuri penyebab kasus tragis itu. Selama masa penelusurannya, Miho justru menguak rahasia kelam dan ironi yang terjadi di masa lampau.
Membaca buku ini bagaikan mengupas bawang, lapisannya yang banyak, dan membuat pedih. Isu-isu pelecehan seksual, bullying, bunuh diri, mental illness, serta toxic parents kerap disorot dalam buku ini. Bagaimana korban tidak mendapat perlindungan dan pembelaan menjadi hal yang sangat miris. Bagaimana orang tua bersikeras dan berambisi menjadi yang terbaik dan mengambil alih kehidupan anak-anak seakan-akan mereka adalah boneka. Namun, para orang tua tidak menyadari kalau anak-anaknya menjadi korban dalam keegoisan yang dilakukan.
Banyak sekali hal yang sifatnya triggering dan menjadi bagian yang perlu diingat para penerbit untuk mencantumkan TW-nya. Kalimat yang disusun dalam buku ini sangat mudah dipahami dan cerita yang seru membuat buku ini terasa page turner. Twist yang disajikan juga cukup membuatku terkejut, tapi terasa abu-abu. Banyak sekali yang bisa dipetik dari buku ini seperti gunakanlah media sosial sebijak mungkin dan tidak perlu berpura-pura menunjukkan kebahagiaan.
Kerap kali aku pengin membagikan kebahagiaanku lewat media sosial, menuangkannya dalam bentuk kata, dan dengan menunjukkan potretku tersenyum atau hal-hal yang membuatku bahagia. Aku rasa semua orang setidaknya menginginkan dan melakukan hal tersebut. Ya, hal serupa juga dilakukan oleh karakter dalam Happiness Battle. Perang kebahagiaan? Hm, menarik.
Kehidupan kelas atas disorot dalam buku ini. Bagaimana mereka berusaha menjaga reputasi lewat unggahan di media sosial dan menanggapi kebahagiaan orang lain lewat komentar, tapi tak jarang tanggapan itu berubah jadi ajang perlombaan dan percelaan. Oh Yoojin, bisa kubilang, menjadi salah satu peserta dalam perang kebahagiaan itu. Alih-alih menjadi pemenang, Oh Yoojin ditemukan tewas di apartemennya dengan tergantung di balkon dan suaminya ditemukan terkapar bersimbah darah di kamar. Miho yang terkejut dengan berita tersebut kemudian berusaha menelusuri penyebab kasus tragis itu. Selama masa penelusurannya, Miho justru menguak rahasia kelam dan ironi yang terjadi di masa lampau.
Membaca buku ini bagaikan mengupas bawang, lapisannya yang banyak, dan membuat pedih. Isu-isu pelecehan seksual, bullying, bunuh diri, mental illness, serta toxic parents kerap disorot dalam buku ini. Bagaimana korban tidak mendapat perlindungan dan pembelaan menjadi hal yang sangat miris. Bagaimana orang tua bersikeras dan berambisi menjadi yang terbaik dan mengambil alih kehidupan anak-anak seakan-akan mereka adalah boneka. Namun, para orang tua tidak menyadari kalau anak-anaknya menjadi korban dalam keegoisan yang dilakukan.
Banyak sekali hal yang sifatnya triggering dan menjadi bagian yang perlu diingat para penerbit untuk mencantumkan TW-nya. Kalimat yang disusun dalam buku ini sangat mudah dipahami dan cerita yang seru membuat buku ini terasa page turner. Twist yang disajikan juga cukup membuatku terkejut, tapi terasa abu-abu. Banyak sekali yang bisa dipetik dari buku ini seperti gunakanlah media sosial sebijak mungkin dan tidak perlu berpura-pura menunjukkan kebahagiaan.
Graphic: Bullying, Mental illness, Suicide, and Sexual harassment
Minor: Pedophilia