Berawal dari keinginannya untuk punya anak tanpa menikah, Dao berusaha mendekati Juntharapanu yang merupakan keturunan bangsawan dan menjadi sosok paling ideal juga sempurna.
Penyampaian cerita dalam buku ini menurutku konyol deh terus juga terlalu fiksi. Kayak ini gak mungkin akan terjadi di kehidupan nyata pun probabilitasnya terjadi aku rasa gak sampai 25%. Terus untuk karakternya aku rasa Dao itu suka banget bikin amazed atas tekadnya dia.
Akhir ceritanya sesuai dengan dugaanku, konflik yang diangkat juga gak begitu rumit yang bikin kepala pening. Untukku hal yang bikin pusing adalah saat tokoh-tokoh baru bermunculan karena yang sebelumnya aja aku lupa-lupa inget. Heem, namanya yang cukup panjang dan panggilan yang juga perlu digunakan gak hanya satu atau dua aja.
Max asked his dad with his curiousity about fear. His dad answered it with some reasons why we often feel afraid over things and that is normal. One of the reasons that also becomes a reminder for me is that we are afraid to lose what we love and forget that sometimes it is never meant to be ours.
I would love to give and rate this book with infinity starts. More than 10 out of 10 points.
It is all started when Mario asked his mother; Why do we cry? Then his mother answered it by explaining everything; to be specified about the reasons why we might cry and feel sad.
As an adult, as the time passes by, I somehow also curious with the same thing as well. Why do we cry when people often said that we need to be happy. I love how it embraces and encourages us that our feelings to be sad then release our sadness by crying is normal. It is okay not to be okay. Our feelings are valid.
Out of all the reasons why we cry from this book; I can relate it and agree to all of it. Although, I must say that, sometimes we also feel sad for no reasons at all. It just our thoughts that lead us to feel things. Whatta beautiful book, illustration, and wholesome also heartwarming interaction between Mario and his mum.
Huh... aku bisa selesaiin buku ini dalam sekali duduk karena ceritanya yang unik, menyenangkan, sekaligus mengharukan.
Alin mesti beralih jadi perias jenazah dari pekerjaannya sebagai MUA untuk public figure maupun jasa WO karena skandal yang menimpanya. Ia bekerja sebagai perias jenazah di biro kedukaan bernama Hope2Hope yang dimiliki Yudis. Sayangnya, pekerjaan Alin sebagai MUA kerap ditentang sama keluarganya. Sampai akhirnya saat ketahuan jadi perias jenazah, Alin dipaksa untuk kembali ke kota Sukabumi - tempatnya berasal.
Pekerjaan Alin yang menjadi perias jenazah tersebut akhirnya membawaku untuk beli buku ini. Aku sering dibikin amazed dengan bagaimana para perias tersebut bekerja dan melayani mereka yang telah berpulang. Lewat buku ini aku juga jadi dapetin insight tentang tata cara kepengurusan mereka yang sudah tiada; serta kehidupan adulting yang pelik. Jujur berulang kali dibuat terharu, sesegukan, gemes, dan gregetan sama apa yang terjadi dalam buku ini.
Banyak sekali nilai pelajaran yang bisa kuambil seperti menghargai apa yang kita miliki, tidak asal gegabah dalam menilai orang, dan melewati duka atas kehilangan yang terkasih. Dibahas juga tentang bagaimana kita menyikapi duka yang dialami orang lain; it teaches us in so many ways by the story written here.
Terus juga disajikan laman berupa screenshotan portal berita yang menjelaskan apa yang terjadi dan turning point kehidupan Alin; juga klarifikasi yang dilakukan Alin. Menurutku hal tersebut bikin buku ini terasa fresh gak hanya tulisan sebab diselipkan ilustrasi juga. Kita juga akan menemukan dialog dalam bahasa Sunda yang merepresentasikan bagaimana keluarga Alin; khususnya sang ayah dalam bertutur kata. Dialog tersebut juga dilengkapi footnote untuk artinya, tapi sayangnya sebagian dialog ada yang gak ada.
Meskipun begitu, aku sangat menikmati bagaimana cerita dalam buku ini dikemas! Character development yang bisa kita rasa, nilai-nilai yang bisa kita ambil, juga covernya yang bagus.