A review by normnialib
The Sword of Kaigen by M.L. Wang

adventurous challenging emotional funny hopeful inspiring reflective tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

"Listen, son... when I was your age, I had to face truth that seem to break the world. That's what happens when you came into contact with people who aren't quite like you.  You learn over time that the world isn't broken. It's just... got more pieces to it then you thought. They all fit together, just maybe not the way you picture when you were young."

Misaki tadinya bisa dibilang perempuan yang punya pendirian kuat tentang jalan hidupnya, dia berjiwa bebas dan cenderung hidup sesuka hati, sampai..... Misaki memasukki umur yang cukup untuk menikah. Ayahnya menjodohkan Misaki ke keluarga yang dinilai bisa melindungi hidup Misaki, Matsuda. Tentu banyak banget pergolakan batin yang dialami Misaki, gak hanya waktu dia dijodohkan, tapi bahkan setelah lima belas tahun pernikahannya. Misaki ngerasa ada kehampaan dalam hidupnya, dan Misaki gak akan pernah bisa keluar dari kekosongan itu kalau dia gak melakukkan apapun.

Setiap kali aku baca buku high fantasy, aku selalu butuh waktu lama untuk namatinnya. World building di buku ini salah satu yang masuk top tier list aku. Amat sangat detail, sehingga bikin aku jatuh ke dalam buku ini semakin dalam. Buku ini bercerita tentang perjuangan perempuan sebagai seorang ibu dan seorang prajurit berdarah dingin. Aku selalu suka sama cerita perempuan cerdas dan powerful, makanya waktu temen aku rekomenin The Sword of Kaigen ke aku, auto aku baca hahaha.

Kepulauan Kaigen punya budaya patriarki yang sangat kental, hal itu ngebikin peran perempuan (terutama kalangan bangsawan) di Kaigen hanya sebatas alat untuk meneruskan keturunan. Memang terbilang kasar, tapi itulah fenomena yang terjadi di Kaigen. Karena tokoh utama buku ini adalah perempuan bernama Misaki, jadi cerita buku ini tentu banyak mengandung unsur feminisme.

Disamping itu, Kaigen juga punya pola pikir yang cenderung tertutup, padahal seluruh dunia sedang fokus berevolusi tapi Kaigen sibuk dengan dunianya sendiri. Pola pikir masyarakat Kaigen yang tertutup ini sejalan dengan apa yang diatakan sama salah satu karakter bernama Chul Hee.
"Was the headmaster serious about challanging people to single combat? You guys really still do that?"
"How else would you settle our differences?"
"I don't know. Talking?"
See? Mereka memutuskan sesuatu dengan pertarungan, bukan dengan omongan.

Kaigen yang tertutup itu mulai terbuka saat si imut Kwang Chul Hee pindah mengikuti pekerjaan ayahnya ke Kaigen. Di sana Chul Hee berteman sama anak Misaki, Mamoru. Mereka berdua bukan tipikal orang yang gampang bersahabat, tapi Chul Hee berhasil membuka hati Mamoru sedikit demi sedikit untuk berpikir mengenai ketertinggalan Kaigen terhadap dunia yang semakin maju. Di sini peran Mamoru penting karena Mamoru berasal dari keluarga terpandang di sana, dan sebenarnya gampang bagi Mamoru untuk mengetahui kebenaran dunia, kalau aja pemerintah setempat gak menutupi informasi sepenting itu.

Disaat ayahnya sendiri menentang keingintahuan Mamoru, Misaki on the other hand taught her first-born a lot. Mamoru sempat bertanya, tentang kebenaran dunia, tentang untuk siapa dia bertarung jika pemerintah sendiri membohongi rakyatnya dengan semena-mena? Misaki dilanda kebingungan untuk sesaat, tapi Misaki tetap harus jawab pertanyaan anaknya, dia bilang, "Do you fight for personal glory? So the name of Matsuda Mamoru will go down in history? Or do you fight for the thrill? Or the previlige of serving your Emperor? You need to ask yourself these questions. The only way to find that conviction you're missing is to know beyond a doubt what you're fighting for."
Momen itu adalah salah satu momen sakral antara ibu dan anak di buku ini. Hal itu juga yang bisa bikin Mamoru terus melangkah maju sembari mencari jawaban, untuk apa dia hidup.

Menurutku buku ini kurang banget kalau cuma dijadikan standalone. Terlalu banyak misteri perpolitikan di buku ini. Bahkan sampai sekarang aku gak ngerti tentang kenapa ada konflik yang begitu berat antara Kaigen & Ranganese. Kalau dunia sudah maju, negara-negara lain berkembang dengan pesat, teknologi juga berjalan secara progresif, kenapa peperangan masih terjadi?

Apa yang mendasari kekejian ini? Harusnya dibahas dong di buku ini, tapi rasanya aku gak nemuin jawaban itu semua. Memang dari awal The Sword of Kaigen lebih fokus ke pergolakan batin yang dialami Misaki sih, jadi aku pikir aku bisa nemuin jawabannya di buku ke dua atau ke tiga, tapi.... gak ada. Buku ini adalah buku standalone. Yah, sangat disayangkan, buku ini punya terlalu banyak potensi yang bisa digali.

Ending cerita  The Sword of Kaigen sangat berbanding terbalik dari apa yang kuharapkan, tapi bisa dibilang cukup memuaskan. Not gonna lie, sepanjang baca buku ini aku mencari pembalasan dendam yang akan Misaki lakukan ke siapapun yang udah nyakitin dirinya, tapi mungkin karena ceritanya udah panjang, author mutusin supaya Misaki memaafkan semua orang itu. Memang character development di buku ini luar biasa, tapi aku tetap pengen liat Misaki kembali ke medan perang hahaha. (Ayo dong author, bikin buku lanjutannya 😉)


The Sword of Kaigen punya amanat yang terbilang simple, tapi sulit untuk dilakukan, yaitu ambilah jalan hidup yang gak akan buat kamu menyesal. Dan kalau sudah memilih lalu tetap menyesal juga, dan kamu terpaksa hidup, maka janganlah terpuruk. Yang harus kamu lakukan adalah buat jalan hidup lain yang gak akan kamu sesali lagi. Karena selalu ada cara kalau kamu tetap mencoba.

Expand filter menu Content Warnings