Scan barcode
A review by clavishorti
Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan by Muhammad Khambali
emotional
informative
inspiring
reflective
sad
fast-paced
4.0
Membaca Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan karya Muhammad Khambali menyadarkan saya bahwa selama ini saya tak ubahnya katak dalam tempurung, terkungkung dalam sangka sendiri. Saya merasa telah cukup tahu, padahal dunia terbentang luas dengan pengetahuan yang jauh melampaui jangkauan akal dan renungan saya. Lewat buku ini, saya dihadapkan pada banyak perkara yang sebelumnya luput dari perhatian saya. Perkara-perkara yang, meskipun selalu ada di sekitar, tak pernah saya sadari atau saya cermati dengan sungguh-sungguh.
Kita hidup dalam masyarakat yang begitu mengagungkan kata “normal”, seolah-olah manusia dapat diperlakukan sebagai objek yang dikategorikan dalam batas-batas yang kaku, bagai benda mati yang ditata dalam peti-peti bersekat. Namun, tidakkah kita sadar bahwa perbedaan adalah takdir, bukan cela? Bahwa justru keberagaman itu sendiri merupakan bukti kebesaran Tuhan? Kita memang diciptakan berbeda, tak ada satu pun di antara kita yang benar-benar serupa. Lantas, dengan keangkuhan macam apa kita berani melabeli diri kita “normal” dan menunjuk-nunjuk orang lain, mengatakan bahwa mereka tidak sesuai dengan standar yang kita tetapkan?
Dalam Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan karya Muhammad Khambali, kita disuguhi kenyataan yang begitu menampar kesadaran kita. Bagaimana kata “normal” digunakan untuk mengungkung keberagaman dan memenjara perbedaan dalam ruang yang hina. Perbedaan yang seharusnya dihargai, malah disandingkan dengan makna cacat, bahkan kutukan. Lihatlah, betapa tinggi dan kokohnya sekat kelam yang diciptakan oleh kata itu—seolah-olah setiap individu yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan adalah sesuatu yang patut dijauhi, sesuatu yang pantas dipandang rendah. Seperti yang dengan tajam diungkapkan dalam buku ini, “Pada mulanya adalah kata, selanjutnya diskriminasi.” Kata itulah yang menjadi gerbang pertama, yang membuka pintu bagi segala bentuk penindasan yang tak terhitung banyaknya.
Di tengah itu semua, saya menjumpai beberapa pembahasan yang menganggap bahwa buku ini terlampau pribadi, mungkin karena gaya bahasa yang begitu menggelegak dan menderu-deru tanpa henti. Namun, tidakkah kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah amarah yang tercurah dalam tiap lembarannya benar-benar tanpa alasan yang sah? Bagaimana mungkin seseorang dapat tetap duduk tenang, tak bergeming, sementara teman-teman kita, saudara-saudara kita, bahkan diri kita sendiri, terpinggirkan, hak-haknya terabaikan, dan keadilan pun diperdagangkan dalam dunia yang semakin keras ini? Jika buku ini dibaca tanpa menimbulkan kegelisahan dalam hati, tanpa memunculkan keresahan yang mendalam, tanpa membakar bara kemarahan yang sama, bukankah itu sesuatu yang patut dipertanyakan? Sebab, ketidaksetaraan bukanlah sekadar persoalan individu atau kelompok tertentu. Ini adalah masalah kita bersama, kewajiban kita untuk saling peduli, mengemban tanggung jawab moral untuk memperjuangkan kesetaraan bagi setiap insan di dunia ini.
Buku ini memaparkan berbagai isu yang saling terkait, mulai dari bahasa yang digunakan untuk menyembunyikan ketidakadilan, serta ketidaksetaraan yang merambat hingga ke ranah arsitektur, tata letak kota, dan bahkan pendidikan, seperti kurikulum yang seolah hanya memperkuat ketimpangan yang ada. Isu-isu ini tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka begitu banyak, begitu meluas, dan telah berakar kuat dalam struktur kehidupan kita.
Namun, meskipun banyak hal yang disampaikan dengan jelas dan tegas, saya merasakan beberapa bagian dari buku ini terkesan berulang. Mungkin hal itu wajar, mengingat buku ini adalah kumpulan esai yang meskipun berdiri sendiri-sendiri, tetap berada dalam satu alur pikiran yang sama. Akan tetapi, terkadang saya mendapati ada kontradiksi yang terasa bertentangan satu sama lain, yang membuat saya harus berhenti sejenak, merenung dalam, dan mencoba meresapi maksud yang hendak disampaikan oleh penulis.
Di sisi teknis, saya menemukan beberapa hal yang seharusnya dapat diperbaiki dalam proses penyuntingan, meskipun terkesan kecil namun cukup mengganggu alur bacaan. Pada halaman 69, tepatnya di paragraf pertama, terdapat pemutusan kalimat yang mendadak, seolah-olah kalimat tersebut terhenti tanpa penjelasan lebih lanjut dan malah beralih menjadi paragraf baru. Hal ini memutuskan aliran pemikiran, yang membuat pembaca terhenti sejenak. Lalu, pada halaman 89, saya mendapati kata “isu” yang tercetak sebagai “iu”. Selain itu, terdapat penggunaan kata “a la” yang seharusnya ditulis “ala” menurut kaidah bahasa Indonesia. Kekeliruan-kekeliruan semacam ini, meskipun terbilang kecil, seyogianya diperbaiki dalam cetakan berikutnya agar pengalaman membaca menjadi lebih memuaskan. Namun, jika penilaian saya kurang tepat, saya dengan senang hati menerima koreksi.
Selain isinya yang mendalam, saya merasa perlu memberi penghargaan yang tinggi kepada desain sampul buku ini yang sungguh menawan. Setiap pilihan warna yang dipilih terasa begitu cermat, menyatukan harmoni yang penuh makna. Ada sentuhan detail yang begitu menggugah, seperti bahasa isyarat Indonesia yang tertulis kata setara dan inklusi di sampulnya yang berbicara kepada kita. Tak hanya itu, elemen Braille yang timbul dengan anggun menambah dimensi keindahan pada desain tersebut. Sampul ini bukan hanya sekadar pelindung bagi isi buku, melainkan sebuah karya seni yang penuh makna. Semua ini adalah hasil karya luar biasa dari Viona Daisy, yang dengan ketelitian dan rasa seni yang mendalam, berhasil menciptakan sampul yang begitu memesona. Terima kasih kepada Viona Daisy dan seluruh tim yang telah berkolaborasi, memikirkan dengan seksama setiap garis dan warna yang ada, sehingga lahir sebuah sampul yang begitu menggugah hati dan penuh pesan.
Pada akhirnya, Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan karya Muhammad Khambali adalah teguran yang membangunkan saya dari keterlenaan dan ketidaktahuan. Buku ini mengungkapkan kenyataan yang seringkali kita abaikan, menyadarkan kita dari kelalaian yang terlalu lama, bahwa masih banyak saudara kita yang terpinggirkan, berjuang untuk hak-hak dasar yang seharusnya mereka terima sejak awal. Di penghujung buku ini, kita akan dihadapkan pada perenungan: sejauh mana kita telah berpihak kepada kemanusiaan?